Welkom bij Strafrecht Blog

Welkom bij Strafrecht Blog

Total Tayangan Halaman

Senin, 18 Januari 2016

Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Berekspresi Menurut UU ITE


TINJAUAN PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DIKAITKAN DENGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI




PENDAHULUAN

Pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris sering kali diterjemahkan dengan defamation. Pencemaran nama baik merupakan salah satu perbuatan melawan hukum. Biasanya pencemaran nama baik juga sering disebut dengan istilah “Penghinaan”. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan ini yang hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama baiknya di mata orang lain meskipun orang tersebut telah melakukan kejahatan yang berat. sehingga di sini terdapat hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam kasus pencemaran nama baik. Terlebih dahulu kita harus mengetahui arti dari kehormatan dan nama baik tersebut. 

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” . Dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu” dan “kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin (R. Soesilo, 1995 : 225).

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pembatasan unsur tindak pidana pencemaran nama baik dengan kebebasan                   berekspresi?
2. Apakah jenis delik dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE         sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana?
3. Bagaimanakah rumusan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE           dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana?

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini menyebabkan perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terutama pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Perubahan yang terjadi itu dengan sendirinya terjadi pula pada perubahan dalam bidang hukum atau peraturan karena kebutuhan masyarakat akan berubah secara kuantitatif dan kualitatif.

Permasalahan yang timbul dalam perubahan hukum itu adalah sejauh mana hukum dapat sesuai dengan perubahan tersebut dan bagaimana tatanan hukum itu tidak tertinggal dengan perubahan masyarakat. Disamping itu, sejauh mana masyarakat dapat mengikat diri dalam perkembangan hukum agar ada keserasian antara masyarakat dan hukum supaya melahirkan ketertiban dan ketentraman yang diharapkan  (Budi Suhariyanto, 2013 : 12).

Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung secara bersama-sama, artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsure-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau sebaliknya (Abdul Wahid dan M. Labib, 2005 : 76).

Mengingat dalam penggunaan suatu sistem elektronik dan teknologi informasi kerap menimbulkan suatu permasalahan, maka lahirlah suatu peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Dalam kajian penelitian ini adalah khusus Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Tindak pidana pencemaran nama baik adalah tindak pidana yang sangat perlu diperhatikan, sehingga diperlukannya suatu peraturan yang khusus untuk mengaturnya. Pada saat ini banyak berkembangnya kasus-kasus pencemaran nama baik seiring dengan berkembangnya media elektronik seperti Facebook, Path, Twitter dan sosial media lainnya. 

Pencemaran nama baik atau fitnah adalah salah satu cara yang paling banyak dilakukan untuk melawan media masa, sehingga “Netizen” sebutan untuk pengguna dunia maya atau media sosial merasa sangat terbatas dalam menuangkan ekspresinya menggunakan media sosial. Belakangan ini persoalan eksistensi delik menjadi persoalan yang sangat dipermasalahkan oleh berbagai pihak, sehingga munculnya perhatian publik terhadap kasus-kasus tertentu sering terjadi. Pasal-pasal pencemaran nama baik sering digunakan untuk menjerat “Whistle Blower”(PeniupPluit/PemukulKentungan). Terdapat dua jenis “Whistle Blower” yaitu (Niniek Suparni, 2009 : 111) :

a) Seseorang yang mengungkapkan pelanggaran atau perbuatan salah yang terjadi dalam suatu                 organisasi kepada publik atau orang yang memiliki otoritas.
b) Seseorang pekerja yang memiliki pengetahuan atau informasi dari dalam tentang aktifitas illegal         yang terjadi di dalam organisasinya dan melaporkannya kepada publik.  

METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mencakup tentang azas-azas hukum, sistematika hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum dan taraf sinkronisasi hukum (Bambang Sunggono, 2007 : 41-42). Menurut Bernard Arif Sidharta, yuridis normatif adalah penelitian yang mencakup kegiatan memaparkan, mensistematiskan dan mengevaluasi hukum positif yang berlaku di dalam suatu masyarakat, dan diupayakan untuk menemukan penyelesaian yuridis terhadap masalah hukum  (Sulistyi Irianto, dkk, 2009 : 142).

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari :
    1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
    3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  
    4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

b) Bahan Hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti penelaahan undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan. Seperti yurisprudensi, doktrin dan sebagainya.

3. Analisis Data
Dalam menganalisis data adalah secara induktif dan komperatif. Induktif adalah metode analisis yang menampilkan pernyataan yang bersifat khusus yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum (Jujun S. Suria Sumantri, 1984 : 48-49). Metode induktif digunakan untuk analisis data dengan pembahasan mengenai pencemaran nama baik dalam undang-undang kebebasan berekspresi dan hukum pidana. Sedangkan metode komperatif digunakan untuk menentukan sisi persamaan dan perbedaan antara kedua hukum tersebut mengenai pencemaran nama baik melalui media elektronik.

HASIL PENELITIAN

Kebebasan berekspresi di indonesia telah dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Pencemaran Nama Baik diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Dalam hal kebebasan berekspresi masyarakat indonesia telah mengalami kemajuan, dengan menggunakan internet, sehingga perlu adanya aturan hukum yang mengatur kebebasan bersekspresi tersebut agar tidak mengganggu hak yang dimiliki oleh orang lain. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Taun 2008 Tentang ITE adalah aturan yang telah lahir untuk mengatur itu semua.
Akan tetapi ada kekurangan dibalik lahirnya undang-undang tersebut, yaitu adanya ketidak seriusan pemerintah dalam hal ini legislatif, tidak adanya pembatasan unsur-unsur pencemaran nama baik di dalam Undang-Undang ITE tersebut, tidak ada pemisahan atau penjelasan secara khusus apa itu pencemaran nama baik dan batas-batasnya terhadap kebebasan bersekspresi. Delik dalam proses tindak pidana itu tidak jelas, apakah termasuk jenis delik aduan atau delik biasa.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pembatasan unsure antara tindak pidana pencemaran nama baik dengan kebebasan berkespresi ada lah pernyataan atau statement harus bersifat membangun mengenai suatu masalah tertentu (Positif), pernyataan tersebut harus berdasarkan suatu sebab dan berdasarkan kenyataan atau bukan bersifat fitnah,  dapat dibuktikan  atau diklarifikasikan oleh salah satu pihak (yang membuat pernyataan tersebut), tidak menyerang sesuatu atau seseorang yang bersifat pribadi dengan sengaja, dan seseorang yang membuat statement atau sebuah pernyataan tersebut harus mempunyai hak atas sesuatu yang ia nyatakan dalam suatu pendapat. Apabila semua unsure tersebut terpenuhi, maka suatu pernyataan tersebut tidak akan terjerat pada perbuatan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial atau internet dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga itu merupakan suatu realisasi Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik delik aduan belum jelas diatur, Delik aduan secara jelas diatur dalam Pasal 319 KUHP dan penghinaan diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, hal tersebut jelas dan tidak menimbulkan perdebatan di dalam proses pengaduan apabila dilakukan penghinaan biasa atau penghinaan konvensional dan tidak melalui media sosial, akan tetapi Undang-Undang ITE tidak menjelaskan dalam pasal apapun mengenai delik aduan tersebut, hal inilah yang menjadi perdebatan selama diundangkannya peraturan ini. Akibatnya banyak kasus penghinaan melalui media sosial atau internet yang seharusnya tidak masuk ke dalam ranah pidana, karena pengaturan tentang pengaduan tidak dijelaskan, maka siapa saja dapat mengadukan penghinaan tersebut dan akan menyebabkan kekacauan di dalam hukum.

3. Secara perspektif kebijakan hukum pidana, rumusan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE perlu adanya perubahan atau diperbaharui, yaitu masalah pengertian penghinaan atau pencemaran nama baik harus dijelaskan dengan spesifik atau dengan khusus, serta batasan-batasannya terhadap kebebasan kritik atau mengeluarkan pendapat yang dijaminkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, Penjelasan delik terhadap kejahatan penghinaan atau pencemaran nama baik harus dijelaskan juga, mengingat kembali bahwa dalam Undang-Undang ITE tidak adanya pengertian dengan jelas atau pembagian deliknya apakah delik aduan atau delik biasa yang pada dasarnya siapa saja dapat melaporkan kejahatan tersebut, Proses penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan, di sini adalah hal yang terpenting menurut penulis karena melalui dua uraian sebelumnya bertujuan untuk proses selanjutnya yaitu penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan hukum pidananya, harus dijelaskan agar tidak ada warga negara atau individu yang dirugikan karena pada dasarnya kebebasan berekspresi dan penghinaan atau pencemaran nama baik tidak jauh berbeda.

Saran

Berdasarkan uraian permasalahan yang terdapat dalam perbuatan tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebelumnya sangat banyak kekurangannya, agar di masa yang akan datang dalam rancangan perubahan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, memberikan penjelasan secara jelas tentang pencemaran nama baik, unsur-unsurnya harus diperjelas agar tidak terjadinya benturan terhadap kebebasan berekspresi menurut Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bertujuan agar kebebasan berekspresi menjadi hak yang utama terhadap setiap warga negara dan tidak mengalami kriminalisasi terhadap hak tersebut.